Aku baru pulang dari liburan keluarga bersama ke Jogjakarta selama beberapa hari. Aku dan keluarga besarku touring ke Jogja. Well, aku nggak akan ceritain gimana perjalananku selama di sana karena di post ini, aku benar-benar mau mengeluarkan semua yang membuat liburanku kemarin nggak bisa kuberi nilai 10/10. Kembali lagi pada masalah dari dalam diriku sendiri.
Supaya nggak bingung, sejak kecil, aku dan keluarga besarku dari pihak Papa sering touring ke kota-kota di Pulau Jawa dan Sumatera. Kami bahkan sudah sampai ke Bali dengan jalan darat. Convoy sekitar 6 mobil. Sudah beberapa tahun terakhir kami jarang pergi lagi, dan baru tahun ini lagi, kami berkesempatan untuk refreshing bersama-sama.
Tidak perlu ahli untuk tahu kalau aku sebenarnya senang sekali pergi touring bersama keluarga besarku meskipun aku pernah bermasalah dengan beberapa anggota keluarga itu pada masa labilku (masa SMP yang kelam). Usiaku waktu pertama kali touring itu adalah 7 tahun, jadi aku memang sudah benar-benar terbiasa yang namanya touring dan convoy. Karena sudah sejak kecil, maka tidak heran kalau aku senang touring bersama mereka.
Kota yang menjadi tujuan kami tahun ini adalah Jogja, juga objek wisata tujuan kami yang utama adalah Bromo yang masih cukup jauh dari Jogja. Namun akhirnya, kami tidak jadi pergi ke Bromo, hanya sampai Jogja saja, karena kakak dan adik-adik Papa (paman-pamanku) sudah kelelahan dan kami takut terjebak macet dalam perjalanan pulang nanti.
Perjalanan ini seharusnya menjadi perjalanan yang menyenangkan, minus semua negative thinking dan overthinking yang menyiksaku, yang membuatku menderita, yang membuatku "bunuh diri" perlahan-lahan. Kalau aku cerita ke orang lain, pasti mereka akan bilang "Ya kalau sudah tahu nggak enak, ya tinggal berhenti aja." Well, kalau segampang itu, post ini nggak bakalan ditulis deh.
Negative thinking ku ini tidak jauh-jauh dari masalah keluarga sebenarnya. Keluarga intiku. Aku, pikiranku dan keluargaku. Aku merasa rendah diri, merasa anxious, sampai-sampai kemarin ada satu waktu saat pikiran-pikiran itu terlalu liar dan memenuhi kepalaku, aku tidak tahan dan melepaskannya dengan menangis diam-diam. Tentu tidak ada keluargaku yang boleh tahu kalau aku sempat menangis.
Pada satu kesempatan, semua yang kutakutkan akhirnya sirna di momen itu. Aku dan sepupu-sepupuku bermain kartu di satu kamar hotel, seru sekali sampai aku bisa tertawa-tawa puas hingga sakit perut. Aku sama sekali tidak merasa dikucilkan. Aku merasa bagian dari keluargaku. Kami lupa waktu sampai tertawa-tawa hingga pukul 1 pagi. Orangtua sepupu-sepupuku biasa saja, tidak ada yang mencari mereka. Tidak ada yang sampai memarahi mereka karena bermain dan kumpul-kumpul dengan sepupu-sepupunya yang lain. Dan aku, kalian tahu, ibuku yang membubarkan acara kami malam itu. Aku yang pada malam itu sedang merasa bahagia, langsung kembali negative thinking dan overthinking setelahnya. Aku merasa, ibuku tidak peduli dengan kebahagiaanku. Dia tidak pernah memikirkan apakah aku bahagia atau tidak. Dia tidak peduli pada dampak tindakannya terhadapku.
Jadilah pada malam itu, aku dan adikku tidak tidur. Aku sibuk dengan pikiranku sendiri yang tentu saja ruwet dan membuat sakit kepala sendiri.
Dari pemikiranku pada malam itu, aku sadar bahwa tidak bisa mengharapkan ibuku untuk berubah. Memang sifatnya sudah seperti itu. Aku memang terkadang kecewa dan sedih, namun ibuku tidak melulu buruk. Dia memang punya sifat buruk yang lebih menonjol dan aku tentu saja sudah terpapar dengan semua itu sejak usia dini. Aku tidak ingin, sangat-sangat tidak ingin menjadi orang yang seperti dia. Aku ingin menjadi pribadi yang jauh lebih baik daripada ibuku secara mental, kepribadian, pemikiran dan perasaan. Aku juga ingin menjadi seorang ibu yang lebih baik dalam segala hal daripada ibuku.
Ketakutan akan menjadi sepertinya tentu saja ada. Malam itu aku juga memikirkannya. Akhirnya aku sampai pada suatu pemikiran. Sangat wajar apabila aku bertingkah sepertinya dulu, sekarang, atau nanti, karena aku memang sudah terpapar sejak kecil. Hal yang penting adalah aku masih punya niat, aku masih punya kesadaran bahwa apa yang aku lakukan itu tidak sesuai dengan apa yang aku niatkan sejak awal, yaitu jadi pribadi yang lebih baik daripadanya. Aku masih bisa sadar bahwa aku tidak semestinya berbuat seperti itu, sehingga aku bisa berubah dan masih bisa terus berubah.
Namun, di samping semua itu, aku tentu saja sayang pada ibuku. Dialah yang memengaruhiku sampai menjadi seperti ini sekarang. Pengaruhnya besar. Tanpanya, mungkin aku tidak akan masuk ke dunia psikologi karena aku tidak merasa tertarik pada mental manusia. Dan tanpanya, tentu saja aku tidak akan pernah lahir ke dunia.