Skip to main content

Curhat: Aku

Sebenarnya, aku hari ini pengen nulis tentang beberapa hal. Tetap curhatan, seperti biasa. Dan kupikir, aku akan memaksimalkan fungsi blog ini sebagai tempat curhatku, tempat untukku menuangkan semua pikiran-pikiranku, terutama yang negatif. Toh nanti, aku sendiri ini yang akan membaca tulisanku.

Topik yang ingin kubahas hari ini mengenai seseorang yang belakangan ini sedang dekat denganku, aku yang semakin terlihat ke-introvert-annya, aku yang butuh muse untuk kembali menulis, dan aku yang sedang galau karena ke-introvert-anku itu.

Mari kita bahas satu per satu. Ini sebagai salah satu cara untuk keluar dari pikiran negatif yang sering menghantuiku. 

Aku saat ini sedang suntuk di rumah, ingin istirahat, dan memaksakan diri untuk refreshing. Aku tidak tahu sebenarnya apa yang bisa membuatku segar kembali, yang membuatku lebih bahagia lagi, dan membuatku merasa keluar sejenak dari penat yang sempat menggangguku beberapa minggu ini. Aku tidak tahu. Hobi? Hobiku (dulu) menulis. Sekarang aku masih senang menulis, tapi entah kenapa, rasanya aku jadi kaku dalam menulis. Aku tidak seluwes dulu dalam merangkai kata, apalagi menulis dalam bentuk percakapan. Maka itu, aku sulit untuk menulis cerita lagi, seperti dulu yang sering kulakukan.

Mungkin besok aku akan menghadiahi diriku sendiri dengan sebuah novel yang bagus. Aku butuh inspirasi menulis dan rasanya, beberapa hari ini aku ingin menulis lagi. Terima kasih untuk sahabatku yang baik hati, Tobias, yang sudah menyalakan kembali semangatku untuk menulis. Tulisan ini pun juga kubuat karena teringat kata-katanya padaku, "Nulis aja, kalau lagi ada waktu dan ada pikiran yang mengganggu." Well, ternyata menulis masih punya efek yang sama untukku. Aku bisa tenggelam dan pergi sejenak dari keadaan yang sekarang ini.

Lupakan segala tugas, lupakan UAS yang tinggal dua mata kuliah lagi. Anggap saja aku sekarang ini sedang menulis surat untuk teman lama, agar tulisan-tulisan ini mengalir dengan luwes dan tanpa paksaan sama sekali.

Aku ini, orang yang introvert. Orang-orang introvert bukan orang yang anti-sosial, bukan juga orang yang tidak punya teman, bukan juga orang yang selalu ingin sendiri. Orang introvert tidak mengalami ketidaknyamanan saat sendirian. Orang introvert menggali kembali energinya dari kesendirian, berbeda dengan orang ekstrovert yang refreshing dengan berkumpul dengan orang-orang banyak. 

Ini menggangguku. Aku yang introvert ini, aku tidak suka menjadi orang yang introvert sebenarnya. Mungkin inilah salah satu penyebabku sulit menerima keadaan diriku sendiri. Aku sebenarnya tidak suka sendirian, malah benci sendirian. Lebih tepatnya, aku tidak suka merasa sendiri, merasa tidak punya teman di saat orang-orang lain sedang bersenang-senang dengan teman-teman mereka yang lain. Sementara aku berdiam diri di rumah, tanpa teman. Seakan-akan tidak punya teman untuk diajak pergi.

Aku senang bersosialisasi, sungguh. Aku senang punya banyak teman. Aku senang merasa dicintai dan disayangi teman-temanku. Aku senang merasa berharga di mata teman-temanku. Aku senang memiliki banyak sahabat. Aku senang tertawa. Aku senang merasa menjadi bagian dari sebuah kelompok pertemanan. Semua itu aku suka, dan aku senang. Semua itu juga seharusnya membuatku menjadi pribadi yang ekstrovert, namun pada kenyataannya tidak begitu.

Aku merasa kaku meskipun aku senang bersosialisasi. Aku mengakuinya. Kekakuan itu entah sejak kapan kurasakan, mungkin sejak dulu. Aku sering kali tertawa dengan terpaksa, karena selera humorku agak berbeda dengan teman-temanku. Aku memaksakan tawa, atau terkadang memaksakan perhatian karena saat itu pikiranku sedang melayang. Sulit bagiku untuk fokus pada orang lain belakangan ini, apalagi bila ada sesuatu yang sedang mengganggu pikiranku. Ini tidak baik dan harus kuhilangkan. Aku tidak boleh seperti ini terus.

Mungkin itulah salahnya. Aku terlalu banyak berpikir. Dan aku terlalu banyak merasa. Aku terlalu tenggelam dalam pikiran negatifku, terlalu takut, memikirkan apa yang harus kubicarakan, apakah mereka akan suka atau tidak dengan yang kubicarakan. Topik-topik pembicaraan tidak dengan sendirinya mengalir karena pikiran-pikiran itu. Bahkan perhatianku terhadap cerita teman-temanku pun akhirnya juga tidak kudengarkan dengan sepenuh hati karena aku memikirkan apa yang akan kukatakan untuk menanggapinya. Aku memikirkan bagaimana aku harus bereaksi agar mereka senang dengan reaksiku. Apakah aku harus bertanya lagi, atau aku harus mengulang apa yang mereka katakan, atau harus menambahkan apa yang mereka katakan dengan pengalamanku sendiri, atau apakah aku harus tertawa saja, atau menanggapi dengan lelucon-lelucon. Aku tidak bisa melucu, sungguh. 

Punya banyak teman mungkin adalah hal yang bagiku sangat berarti. Aku ingin sekali dianggap sebagai bagian dari seseorang, atau sebuah kelompok. Sulit, bagaimana aku melakukannya juga aku tidak mengerti dan tidak tahu. Aku mungkin harus mulai belajar mengerti bahwa tidak semua orang cocok denganmu sebenarnya, dan pasti akan ada yang tidak suka denganmu. Tapi entah, aku terlalu idealis dan terlalu terpaku pada keinginanku untuk disayangi dan dicintai dan dianggap oleh orang lain. Aku sulit menerima bahwa ada orang yang tidak suka padaku. Hanya di saat-saat tertentu saja, aku bisa menerima itu dan aku bisa terima bahwa tidak semua orang cocok denganku. Keinginanku untuk dekat dan berteman dengan semua orang sebenarnya terlalu overwhelming.

Bagi aku yang introvert seperti ini, hal-hal seperti di atas itu membebaniku. Membebani pikiranku dan mentalku dan hatiku. Aku masih sulit untuk menerima diriku apa adanya. Kenyataan bahwa aku ini sebenarnya pendiam, tapi cerewet juga, membuatku agak bingung mengenai diriku sendiri. Aku bisa menjadi orang yang bawel, bisa juga menjadi orang yang diam, mendengarkan, namun tidak pasif. Kenyataan bahwa sebenarnya aku ini introvert atau ekstrovert juga tidak kumengerti. Mungkin aku ini ambivert. Meskipun aku adalah calon psikolog, bukan berarti aku yang baru akan memulai semester 2 ini mengerti tentang diriku seutuhnya. 

Pemikiran tentang sosial ini membuatku terbebani. Aku tidak suka merasa aku tidak punya teman, aku tidak punya sahabat, aku sendirian. Aku benci perasaan-perasaan seperti itu. Aku sangat tidak nyaman sebenarnya, tapi tidak tahu bagaimana menghilangkan perasaan-perasaan itu. 

Hal yang cukup kontradiktif adalah aku tidak keberatan duduk sendirian mengerjakan tugas di sebuah kafe, berjam-jam. Tanpa ada orang yang mengajak bicara secara langsung. Aku bisa fokus pada tugasku, atau apa yang aku kerjakan, sendirian. Tanpa ada pikiran-pikiran negatif yang masuk juga. Asal aku tidak membuka media sosial seperti Instagram. 

Trigger terbesarku adalah saat-saat liburan, Instagramku penuh dengan foto-foto teman-temanku yang pergi dengan teman-teman mereka. Aku sedih, kecewa, marah, karena aku juga tidak pergi seperti mereka. Seakan-akan aku tidak punya kehidupan sosial. Mungkin inilah yang dimaksud dengan aku membutuhkan pengakuan dari orang lain. Aku terlalu peduli pada pengakuan orang lain, pada penilaian orang lain terhadap diriku. 

Aku mungkin perlu menggali lebih dalam apa yang menyebabkan aku seperti itu, lalu menyelesaikan masalahku itu dari akarnya.

Best of the year

Experience: Sedikit Pengalaman dengan Bulimia

Berkaitan dengan post saya kemarin, maka saya berpikir untuk berbagi pengalaman tentang bulimia nervosa yang saya derita. Berat badan saya pernah mencapai angka 56 kg, dengan tinggi badan <155 cm. Tentu saja bukan berat badan yang ideal, karena idealnya adalah 45 kg menurut saya. Di bulan Desember 2013, saya menghadapi suatu masalah yang membuat saya stres dan tidak nafsu makan. Di tambah lagi, saya sempat sakit selama beberapa hari sehingga sama sekali tidak bernafsu makan, sekali pun di hadapan saya sudah tersedia makanan kesukaan sepanjang masa, yaitu nasi goreng. Dari masalah itu, saya berniat untuk membuat orang itu menyesal. Ibarat kata, saya ingin balas dendam padanya dengan menunjukkan bahwa saya bisa kurus dan menjadi cantik, sehingga ia saya boleh merasa bangga pada diri sendiri sekaligus 'membalas dendam'. Di mulailah diet saya. Tekad saya ketika itu sudah bulat dari dalam hati, tidak diumbar ke mana-mana. Tidak ada seorang pun yang tahu bahwa saya se

Lessons Learned from the Movie "Suddenly Seventeen"

Hi! My mid-term test has finished yesterday (yaaayy!!) and yesterday, I had a time to spend with my girls and had a time to spend with myself. What I did was giving myself a good movie to learn from. I know that movie accidentally while browsing through youtube several weeks ago but had just had a time yesterday. And that movie was VERY GOOD oh my God. This post ain't gonna be a movie review. I wanna share the lessons I learned from this movie. The movie is called "Suddenly Seventeen". It is a remake from a western movie titled "17 again." 1/3: Never lose yourself for a man. Yes, yes! This is the first lesson I learned from this movie ever since the beginning. The main female character, Liang, has been in a relationship with his boyfriend, Mao, for 10 years. She's currently 28 and Mao hasn't proposed to her yet. She was desperate. Then a magic chocolate turns her mind to her 17 self. She was very different back then in her 17. She was so lively, so

Self: Introversion in Me

Kalau ditanya, sebenarnya kamu itu orang yang kayak gimana, kamu bakal jawab apa? Well, gue jujur nggak pernah ditanya, sih, tapi sedikit banyak gue tahu gue itu orang yang kayak apa. Gue sudah pernah tes minat-bakat sekaligus tes kepribadian, online, offline, free maupun berbayar. Semua hasilnya menunjukkan kalau gue memang seorang introvert. Tipe kepribadian gue menurut Myers-Birggs Type Indicator (MBTI) adalah INFP/INFJ yang artinya Introvert, iNtuituve, Feeling dan Perceiving/Judging. Kenapa gue tulis dengan garis miring di situ? Karena hasil tes gue menunjukkan kecenderungan gue sebagai INFP dan INFJ. Hasilnya hampir seimbang. Hasil tes gue menunjukkan kalau gue adalah INFJ, tapi menurut semua ciri-ciri INFP dan INFJ yang sudah gue bandingkan dengan diri sendiri, gue lebih ke INFP daripada INFJ.  Introvert. Buat kalian yang belum tahu, introvert itu adalah orang yang lebih menyukai berada dalam pikiran atau dunianya sendiri. Introvert ini memiliki pikiran dan dunia ya

KENALI PIKUN, BUKAN MEWAJARI

Budi (nama samaran), 38 tahun "Ayah saya saat ini telah berusia 60 tahun. Dulu ayah merupakan sosok yang ceria dan juga sangat gigih dalam pekerjaannya. Akan tetapi, semuanya berubah semenjak 3 tahun terakhir ini. Tiga tahun yang lalu, ayah saya pensiun. Sejak saat itu, ayah lebih banyak diam di rumah dan semakin lama, kemampuan mengingat ayah juga semakin berkurang. Suatu saat ayah bertanya, “Kamu ingin pergi ke mana?”, meskipun saya telah menjawab pertanyaan tersebut, ayah kembali mengulang pertanyaan yang sama berkali-kali. Ketika saya menceritakan hal ini kepada orang-orang, mereka umumnya menjawab..  'Biasa.. udah tua gitu, jadi lupa terus.' 'Makin tua wajar sih makin pikun.' 'Orang tua lupa mah wajar, memang penyakit tua.' Ayah juga mengalami kesulitan untuk melakukan aktivitas sehari-hari, bahkan membuat kopi kesukaannya pun tidak dapat dilakukannya. Kepribadian ayah juga mulai berubah, sekarang ayah lebih sering marah-marah tanpa sebab

Belajar dari Pengalaman Orang Lain (part 1)

Halo! Hari ini, aku menemukan dua hal yang mengubah padanganku terhadap bagaimana aku 'merasa' dan bersikap karenanya. Pengalaman ini mungkin sederhana, tapi aku entah kenapa bisa juga memaknainya dengan cukup serius dan menjadi sebuah filosofi tersendiri (Hahaha!).  1. Seorang youtubers membagikan ceritanya mengenai hamil di luar nikah saat usianya 17 tahun. Aku sebenarnya iseng saja waktu menonton video ini di sela-sela mengerjakan tugas. Aku tertarik dengan judulnya: "17 and Pregnant". Aku sudah pernah menonton video-video lain tentang ini sebenarnya, tapi entah kenapa, video ini yang berhasil membuatku tersentuh. Aku terinspirasi sekali olehnya, bagaimana dia akhirnya bisa  survive  dengan hidupnya yang seperti itu. Menurutku, kisahnya ini sangat realistis dan nyata dalam kehidupan jaman sekarang ini. Banyak pelajaran yang dapat kuambil dari satu video berdurasi 15 menit 21 detik ini. Namanya Nami Cho. Cho ini hamil di usia 17 tahun. Cho ini meras

Studi

Pernah ngerasain capek belajar sampai-sampai lihat buku aja bikin kamu muak? Semua pelajar mungkin pernah mengalaminya ya, nggak terkecuali mahasiswa tingkat pertama sepertiku ini. Sudah seminggu ini, aku tidak bisa belajar. Ini sungguhan. Aku nggak berlebihan. Kenapa aku bilang aku susah belajar? Niatku padahal selalu menggebu-gebu untuk belajar, loh. Begini ceritanya: sejak hari Senin malam yang lalu (13 Februari), aku belajar, membaca materi untuk perkuliahan besok harinya. Lalu, Selasa, aku kuliah seperti biasa, dan pulang dengan biasa-biasa saja, makan-makan dengan papa dan mamaku untuk merayakan hari Valentine. Pulangnya, aku mengeluh aku tidak bisa belajar pada orangtuaku. Rasanya sulit sekali untuk berkonsentrasi. Hari Rabu, setelah pilkada, aku dan keluargaku pergi ke Lippo Mall Puri, untuk sekedar refreshing dan mencari suasana baru. Jadilah aku belajar psikologi sosial (menghabiskan 1 bab dalam waktu 1 hari! Kira-kira ada sekitar 30+ halaman dan semua dalam bahasa Inggr

Rant: Penderita Gangguan Mental BUKAN untuk Ditakuti

Post ini ditulis karena saya teringat seorang teman pernah mengatakan kepada saya bahwa dia takut dengan orang yang mengalami gangguan mental. Remaja memang labil dan emosinya berubah dengan cepat. Hal itu wajar karena perkembangan otak remaja belum sempurna, sehingga otak belum dapat memerintahkan organ untuk memproduksi hormon-hormon tertentu secara seimbang. Dari kasus tersebut tentu saja pasti ada salah satu hormon yang dominan. Fungsi hormon tersebut juga akan lebih domian pada remaja, namun jenis dan kadarnya akan berbeda pada setiap remaja.  Di usia remaja, manusia sangat rentan menderita gangguan mental. Gangguan mental masa kini memiliki beragam jenis. Beberapa yang paling sering disorot dan penderitanya sebagian besar adalah remaja yaitu eating disorder (anorexia dan bullimia), Attention Deficit-Hyperactivity Disorder (ADHD) dan bipolar disorder. Saya sendiri adalah mantan bulimia. Banyak faktor yang dapat menyebabkan gangguan tersebut muncul. Menurut saya, faktor

Me Talking about My ((Current)) Condition

Lately I'm not sure what I'm feeling. It feels like riding a roller-coaster everyday. I don't know what should I feel, I don't know how I should react. I just... don't know. I feel like I'm losing track of my life. I'm getting out of track. Well, let's see through my past then. I was an introverted girl and so am I now. I've never been comfortable with myself enough to depend on myself rather than depending on somebody who has a close relationship with me like my best friend. That sucks, I know, not being able to depend on yourself and to you just depend on others for your moral support. I should have been the best friend I need myself. It feels like time has passed so much since I wrote my last reflection. I had been doing great actually, but not for this past 2-3 weeks. I can't recall exactly what makes me being like this. The thoughts just coming so sudden and filling my head, even they sometimes make me grasping for air so much that

Curhat: Running Thoughts

Aku baru pulang dari liburan keluarga bersama ke Jogjakarta selama beberapa hari. Aku dan keluarga besarku touring ke Jogja. Well, aku nggak akan ceritain gimana perjalananku selama di sana karena di post ini, aku benar-benar mau mengeluarkan semua yang membuat liburanku kemarin nggak bisa kuberi nilai 10/10. Kembali lagi pada masalah dari dalam diriku sendiri.  Supaya nggak bingung, sejak kecil, aku dan keluarga besarku dari pihak Papa sering touring ke kota-kota di Pulau Jawa dan Sumatera. Kami bahkan sudah sampai ke Bali dengan jalan darat. Convoy sekitar 6 mobil. Sudah beberapa tahun terakhir kami jarang pergi lagi, dan baru tahun ini lagi, kami berkesempatan untuk refreshing bersama-sama.  Tidak perlu ahli untuk tahu kalau aku sebenarnya senang sekali pergi touring bersama keluarga besarku meskipun aku pernah bermasalah dengan beberapa anggota keluarga itu pada masa labilku (masa SMP yang kelam). Usiaku waktu pertama kali touring itu adalah 7 tahun, jadi aku memang su