Berkaitan dengan post saya kemarin, maka saya berpikir untuk berbagi pengalaman tentang bulimia nervosa yang saya derita.
Berat badan saya pernah mencapai angka 56 kg, dengan tinggi badan <155 cm. Tentu saja bukan berat badan yang ideal, karena idealnya adalah 45 kg menurut saya. Di bulan Desember 2013, saya menghadapi suatu masalah yang membuat saya stres dan tidak nafsu makan. Di tambah lagi, saya sempat sakit selama beberapa hari sehingga sama sekali tidak bernafsu makan, sekali pun di hadapan saya sudah tersedia makanan kesukaan sepanjang masa, yaitu nasi goreng.
Dari masalah itu, saya berniat untuk membuat orang itu menyesal. Ibarat kata, saya ingin balas dendam padanya dengan menunjukkan bahwa saya bisa kurus dan menjadi cantik, sehingga ia saya boleh merasa bangga pada diri sendiri sekaligus 'membalas dendam'.
Di mulailah diet saya. Tekad saya ketika itu sudah bulat dari dalam hati, tidak diumbar ke mana-mana. Tidak ada seorang pun yang tahu bahwa saya sedang diet. Tidak nafsu makan itu akhirnya menjadi suatu kebiasaan: saya jarang makan. Sekali pun makan, saya hanya makan nasi sangat sedikit dengan lauk yang juga sangat sedikit. Tidak mengkonsumsi makanan-makanan bergizi seperti buah-buahan. Namun, saya tidak menyengsarakan diri dengan berolahraga berlebihan. Saya menyengsarakan diri dengan cara lain, yaitu menahan lapar hingga sakit maag, baru saya makan. Biasanya jadwal makan saya seperti ini: jam 9.45 makan pagi sangat sedikit (jam istirahat di sekolah), jam 3 sore makan di rumah setelah menahan lapar. Kemudian baru akan makan lagi di jam 9.45 keesokan harinya.
Ekstrim? Ya, tentu saja. Tapi saat itu tidak ada yang menyadari saya diet. Januari 2014, berat saya turun menjadi 52 kg, kemudian di bulan Februari-Maret 2014, berat badan saya menjadi di bawah 50 kg. Suatu pencapaian bagi saya. Saya senang bukan main.
Tetapi di balik itu, sebenarnya ada sebuah rahasia. Saya tidak pernah ngemil. Bila memang benar-benar ingin ngemil, saya hanya makan sebuah oreo. Lalu ketika terpaksa makan banyak, saya akan dengan paksa mencolok kerongkongan saya hingga dalam dan memuntahkan seluruh makanan yang saya makan, beserta asam lambungnya. Ini bukannya tidak jarang saya lakukan, karena keluarga saya sering mengajak makan malam dan saya tidak bisa menolak.
Bukan hanya itu, bila saya mengemil misalnya pilus australia atau kacang mede, maka setelah makan saya akan langsung masuk ke dalam kamar mandi dan memuntahkan makanan yang baru saja akan dicerna.
Pikiran saya waktu itu begini: belum sempat dicerna selain dikunyah dalam mulut, keluarkan saja sekarang mumpung sempat. Kalorinya belum diserap, kan? Jadi tidak akan bikin gendut bila langsung dimuntahkan. Saya tidak memikirkan efek samping tindakan itu.
Saya tidak pergi ke ahli psikologi, tapi dari apa yang saya rasakan dan lakukan, saya memvonis diri sendiri sebagi pengidap bulimia nervosa, walaupun tidak terlalu parah. Saya sudah melakukan pengecekan di internet berkali-kali, tes-tes online tentang bulimia, ciri-ciri bulimia baik fisik maupun psikologis. Dan keduanya positif menguatkan vonis terhadap diri sendiri, saya pengidap bulimia.
Kemudian, keanehan demi keanehan mulai terjadi pada diri saya. Terlalu banyak efek negatif yang diakibatkan eating disorder ini. Emosi saya lebih labil dari sebelum-sebelumnya, mudah tersinggung, tidak suka bersosialisasi, kehilangan gairah untuk melakukan hobby, tidak percaya dan depresi. Itu baru dari segi psikologis. Lalu akibat terhadap tubuh fisik saya adalah bakteri pada amandel saya yang membuat amandel memproduksi cairan, kemudian cairan itu mengalir mengenai pita suara dan membuatnya meradang. Suara saya menjadi pecah dan sama sekali tidak prima. Selain itu, saya juga menjadi penderita sembelit sejak Januari 2014 karena cara diet yang sangat sangat salah. Saya sering kali minum obat pencahar untuk mengeluarkan kotoran yang mampet. Sempat juga berpikir bahwa epiglotis saya (katup yang memisahkan kerongkongan dengan tenggorokan) sudah rusak karena terlalu sering dicolok-colok, sebab setiap setelah makan, saya menjadi eneg dan makin sengaja memuntahkan makanan.
Kebiasaan memuntahkan makanan itu masih sering saya lakukan hingga akhir 2014, sebelum saya mengetahui ada bakteri dalam amandel saya yang membuat pita suara saya meradang. Namun setelah sembelit itu, saya menjadi stres dan perlahan mulai makan dengan porsi normal agar tidak sembelit lagi. Bahkan, saya cenderung untuk makan banyak setelah mulai terbiasa lagi. Dan saya semakin sering memuntahkan makanan, terutama setelah makan banyak.
November 2014, saya sakit DBD. Masa pemulihan menuntut banyak istirahat dan banyak makan makanan bergizi. Jadilah saat itu saya hanya makan dan tidur, begitu sampai satu minggu lebih. Seharusnya orang DBD itu tidak nafsu makan karena muntah, tetapi nafsu makan saya malah tinggi dan tidak mual sama sekali. Dan setelah sembuh, berat saya naik beberapa kilo.
Dari sejak sakit, berat badan saya menjadi tidak terkontrol. Naik, turun, naik, turun. Nafsu makan saya menjadi lebih tinggi dari waktu saat diet, sampai saat ini. Berat badan saya di Januari 2015 adalah 47-48 kg, sekarang Maret 2015 adalah 49 kg. Hal ini membuat saya stres, jujur saja. Dengan nafsu makan tinggi yang tidak bisa lagi saya kendalikan, pencernaan yang terlanjur lambat karena diet 2014 dan malas berolahraga, wajar berat badan saya naik, kemudian membuat saya stres sendiri.
Inilah yang membuat orangtua saya sering kali marah dan mengatakan saya terobsesi dengan berat badan. Ya, saya mengakui itu. Tapi saya hanya tidak ingin menjadi gemuk, apa itu salah?
Efek samping yang sudah muncul ke permukaan itu membuat saya perlahan-lahan menghilangkan kebiasaan buruk itu pada akhirnya. Tapi tentu saja, sesekali saya melakukannya bila sangat-sangat terpaksa.
Sampai sekarang, saya masih ingin memuntahkan makanan yang masuk ke perut saya. Namun mengingat efek sampingnya, terutama bakteri di amandel, saya mengurungkan niat. Belakangan juga, saya mengetahui bulimia membuat rambut rontok. Seperti saat ini, saya sedang berusaha kuat melawan dorongan untuk kembali mencucuk tenggorokan saya dengan dua jari dan memuntahkan makanan serta cemilan yang terlampau banyak saya makan hari ini.
Lalu, apakah saya malu menjadi seorang pengidap bulimia nervosa? Ya. Saya malu, juga takut. Takut dinilai oleh teman-teman tentang keadaan ini, khawatir mereka akan menjauhi dan mengucilkan saya. Namun sangat sulit untuk terbebas dari bulimia ini.
Dan semoga pengalaman ini bisa membuat siapapun di luar sana yang kira-kira akan berakhir menjadi penderita bulimia bisa mengurungkan niatnya detik itu juga. Jangan jatuh ke lubang yang sama dengan saya.