Halo!
Hari ini, aku menemukan dua hal yang mengubah padanganku terhadap bagaimana aku 'merasa' dan bersikap karenanya. Pengalaman ini mungkin sederhana, tapi aku entah kenapa bisa juga memaknainya dengan cukup serius dan menjadi sebuah filosofi tersendiri (Hahaha!).
1. Seorang youtubers membagikan ceritanya mengenai hamil di luar nikah saat usianya 17 tahun.
Aku sebenarnya iseng saja waktu menonton video ini di sela-sela mengerjakan tugas. Aku tertarik dengan judulnya: "17 and Pregnant". Aku sudah pernah menonton video-video lain tentang ini sebenarnya, tapi entah kenapa, video ini yang berhasil membuatku tersentuh. Aku terinspirasi sekali olehnya, bagaimana dia akhirnya bisa survive dengan hidupnya yang seperti itu. Menurutku, kisahnya ini sangat realistis dan nyata dalam kehidupan jaman sekarang ini. Banyak pelajaran yang dapat kuambil dari satu video berdurasi 15 menit 21 detik ini.
Namanya Nami Cho. Cho ini hamil di usia 17 tahun. Cho ini merasa oke-oke saja dan tidak terganggu kalau hamil. Cho berpikir dengan kehamilan itu, maka pacarnya tidak akan meninggalkan dia, padahal, Cho sendiri tahu data statistik sudah menyatakan 80% gadis yang hamil di luar nikah ditinggalkan oleh pasangannya. Cho sempat juga merasa takut ditinggal oleh pacarnya (sebelum kehamilan, mereka sudah berencana untuk menikah), tapi menurut pengakuannya, sang pacar adalah orang yang baik dan bertanggungjawab. Oleh karena itu, mereka akhirnya memutuskan untuk menikah, ditambah lagi dengan kenyataan bahwa Cho hamil mendekati hari pernikahan mereka. Keputusan itu membuat seseorang yang bekerja di klinik tempat Cho memastikan kehamilannya senang dan bahagia. Orang ini senang karena Cho dan pacarnya tidak mengambil keputusan untuk mengaborsi si bayi.
Untuk menyingkat kejadian sebelum kehamilan itu terjadi, aku mengutip dari description box videonya saja ya.
"Michael and I always talked about marriage and our marriage hopes, plans, and general marriage stuff since the beginning of our relationship. We initially wanted to get married in 2017 but that date got sooner and sooner because we just didn't want to wait as long to get married.
When I was graduating high school in 2012, we decided that we wanted to try to get married in 2013 or 2014 however, in the summer of 2012, we were speaking to both our parents and of course they wanted us to wait longer but I wish we both could've better articulated our feelings, goals, visions, hopes, and desires to our parents and our parents could've listened better to us rather than just imposing their thoughts or expectations of us too.
Anyway, to cut it short, they said it's better to wait and that was really giving me a lot of anxiety, mostly due to how my babyhood, toddlerhood, and childhood was like, I was really anxious and had a deep rooted fear of people isolating and abandoning me and it of course translated into my relationship with Michael.
I felt like Michael would abandon or throw me away like I felt as a child with my friends or my mom who had to work 11 hours every working day and was always controlling or angry with him as a defence mechanism for myself.
When we got pregnant the fall of 2012, I was glad in a way and was happy to start a family not far from the date we were originally going to get married. It did end up to be a great learning and humbling but building time for both of us and both our families but I'm really grateful that everything turned out for the better in the end."
Selama berpacaran, keluarga pacarnya memiliki penilaian dan pandangan yang buruk terhadap Cho. Tapi setelah mereka menikah, respon dan perilaku dari keluarga Michael, pacarnya ini, menjadi bertolak belakang sama sekali dengan yang sebelumnya. Mereka memperlakukan Cho dengan hangat, sangat terbuka, sangat menyayangi, dan membuat Cho yang sebelumnya tidak pernah merasakan "keluarga" yang sebenarnya, merasakan bagaimana rasanya tinggal dalam sebuah keluarga.
Cho juga sempat suicidal, di mana dia menyatakannya dengan "I was very suicidal" di videonya. Suicidal itu karena tingkat anxiety nya yang begitu tinggi mengenai pandangan keluarga pacarnya ini, juga karena ketakutan akan ditinggal Michael. Sebelumnya memang Cho sudah menyatakan dia "mentally unstable", yang semakin membuat suicidal tendency itu menjadi-jadi.
Aku sebenarnya sempat merasa bingung juga mengapa Cho ini cenderung tidak takut dan tidak khawatir soal kehamilan itu, tapi dari apa yang kulihat, sebenarnya Cho ini juga takut. Ketakutannya beralasan. Dia takut ditinggalkan oleh pacarnya, tempatnya "berteduh" sejak dia bertemu pacarnya itu. Semasa hidupnya, Cho sering kali ditinggalkan oleh orang-orang terdekatnya. Ibunya adalah seorang orangtua tunggal, yang sering berpindah-pindah tempat, membuat Cho akhirnya juga terpaksa ikut pindah. Sedangkan ayahnya adalah suami kedua ibunya. Ayahnya bukan merupakan orang yang bertanggungjawab. Ibunya mengandung Cho dengan harapan ayahnya akan berubah, akan lebih perhatian, mengurangi kebiasaan-kebiasaan buruk, dan menjadi sosok ayah yang baik untuk Cho. Tetapi hal itu tidak terjadi.
Berangkat dari pengalaman ibunya itulah, timbul ketakutan Cho ditinggalkan Michael. Aku bisa mengerti bagaimana perasaan Cho yang sangat takut ditinggalkan dan dilupakan dan dibuang, sampai-sampai membuatnya suka mengontrol orang-orang di sekitarnya, juga membuatnya melampiaskan kesedihannya, kekecewaannya, terhadap ibu dan keluarganya kepada Michael (ini salah satu contoh defense mechanism yang diutarakan Sigmund Freud, namanya displacement, singkatnya, pelampiasan. Atau kalau bukan displacement, maka regression - kembali menjadi seperti anak kecil, dengan suka ngambek, marah-marah sendiri, seperti anak kecil.).
Aku sebenarnya ingin menganalisis juga mengenai pengalaman hidup Cho yang ini, tapi tujuan tulisan kali ini adalah untuk membagikan insights apa saja yang kudapatkan.
- Perspektif dalam memandang hidup dan kejadian-kejadian di dalamnya merupakan aspek penting kalau mau bahagia
Hidup Cho tidak menyenangkan sejak kecil, dengan single-mom yang selalu sibuk dan mengharuskannya untuk berpindah-pindah kota. Cho sempat menyatakan juga, "I grown up by myself." Lalu juga, ketakutannya akan abandonment karena pengalaman masa kecilnya. Keluarga pacarnya yang belum merestui rencana pernikahan keduanya, sampai akhirnya Cho hamil. Kalau orang biasa melihatnya, maka kehamilan itu bisa dianggap sebuah bencana yang akan menghancurkan masa depan. Tapi tidak untuk Cho. Inilah yang kubilang perspektif itu penting. Kita harus bisa "adjust & shifting" sudut pandang kita dalam melihat sebuah kejadian, apalagi masalah. Di sini Cho tidak menganggap kehamilannya sebagai bencana seperti yang kebanyakan orang bilang. Kehamilan itu menjadi sebuah anugrah baginya, bahkan sebelum dirinya mendapat kepastian Michael akan menikahinya. Tentu saja Cho mempunyai alasan mengapa kehamilan yang tidak disengaja itu menjadi anugrah baginya. Alasan-alasan itu membentuk bagaimana Cho memandang kehidupannya selanjutnya, yang ternyata, benar-benar membawa berkah. Cho berubah, lebih sabar, lebih baik, lebih banyak tersenyum, dan lebih bahagia, saat dia mengandung.
Aku rasa di sini Cho sudah mulai bisa mengatur sudut pandangnya sendiri, sampai akhirnya dia bisa menjadi lebih bahagia dengan semua yang dihadapinya. Perubahan sudut pandangnya itu adalah Cho bersyukur, bersyukur, dan bersyukur, lalu menganggap segala hal yang telah terjadi dalam hidupnya memang sudah diatur sedemikian rupa, sampai Cho mendapat kebahagiaan di tengah-tengah hidupnya yang "kelabu".
- Bersyukur
Apa yang kualami selama ini tidak seberapa dari yang dialami Cho. Hidup Cho jauh lebih kelam daripada hidupku. Tapi kembali lagi, aku juga sadar bahwa kapasitas seseorang dapat menghadapi cobaan-cobaan tertentu berbeda-beda. Berat bagiku belum tentu berat bagi orang lain. Berat bagi orang lain, belum tentu berat bagiku. Cho mampu bersyukur dengan segala pengalaman pahitnya sejak kecil, sampai akhirnya dia berkeluarga sendiri dengan pacarnya. Cho bersyukur karena pengalaman-pengalaman itu membuatnya bisa merasakan kasih sayang yang lebih dari orang-orang baru, yang menjadi pengganti bagi orang-orang yang mengecewakannya itu.
- Apa yang kita pikirkan tidak selamanya benar
Pengalaman Cho mengenai persepsi keluarga Michael tentangnya adalah hal yang sebenarnya ada di kepala Cho semata. Cho menganggap mereka memandang jelek Cho, membuat Cho merasa mendapatkan banyak hostility dari keluarga Michael. Cho mempersepsikan sendiri pandangan keluarga Michael terhadap dirinya berdasarkan pengamatan yang subjektif, yang kemudian membuatnya merasa stres sendiri. Padahal, pandangan itu buatannya sendiri, tidak pernah dibuktikan secara langsung dengan bertanya pada yang bersangkutan. Dan ternyata apa? Setelah menikah, keluarga itu memperlakukan Cho dengan baik, sangat baik, sampai-sampai Cho terharu dan menitikan air mata saat menceritakan tentang bagian itu di videonya.
Aku mengerti perasaan itu. Aku sering mengalaminya, dan selalu saja berpikiran negatif tentang diriku sendiri. Menurutku, itu adalah karena kurangnya rasa menyukai diri sendiri dan menyayangi diri sendiri, sampai kita tidak tahu siapa kita sebenarnya. Karena itu, kita menjadi sangat peduli dengan pendapat orang lain tentang kita. Alternatif lain adalah karena kita sudah keburu men-cap jelek diri kita karena latar belakang kita, yang orang belum tentu sudah tahu tentang itu. Lalu kita bertindak seakan-akan orang itu sudah pasti akan memandang dan memperlakukan kita dengan negatif. Tindakan kita itulah yang menyebabkan akhirnya orang benar-benar memperlakukan kita seperti itu (ini salah satu dari teori psikologi sosial. Namanya self-fulfiling prophecy.).
Dan, ya, setelah melihat pengalaman orang lain, aku baru sadar apa yang selama ini kulakukan itu sebenarnya buatanku sendiri, bukan orang lain.
Masih ada banyak hal yang kupelajari dari Nami Cho ini, tentang menjalani hidup, coping with stress, sampai soal percintaan. Tapi tugas sudah memanggil-manggil dengan semangat, bersamaan juga dengan jarum jam yang nggak mau pelan-pelan jalannya T.T.