Skip to main content

Studi

Pernah ngerasain capek belajar sampai-sampai lihat buku aja bikin kamu muak?

Semua pelajar mungkin pernah mengalaminya ya, nggak terkecuali mahasiswa tingkat pertama sepertiku ini. Sudah seminggu ini, aku tidak bisa belajar. Ini sungguhan. Aku nggak berlebihan. Kenapa aku bilang aku susah belajar? Niatku padahal selalu menggebu-gebu untuk belajar, loh. Begini ceritanya: sejak hari Senin malam yang lalu (13 Februari), aku belajar, membaca materi untuk perkuliahan besok harinya. Lalu, Selasa, aku kuliah seperti biasa, dan pulang dengan biasa-biasa saja, makan-makan dengan papa dan mamaku untuk merayakan hari Valentine. Pulangnya, aku mengeluh aku tidak bisa belajar pada orangtuaku. Rasanya sulit sekali untuk berkonsentrasi. Hari Rabu, setelah pilkada, aku dan keluargaku pergi ke Lippo Mall Puri, untuk sekedar refreshing dan mencari suasana baru. Jadilah aku belajar psikologi sosial (menghabiskan 1 bab dalam waktu 1 hari! Kira-kira ada sekitar 30+ halaman dan semua dalam bahasa Inggris) di Lippo Mall Puri. 

Materi yang akan menjadi bahan untuk kuis di hari Jumat itu sudah kulalap semua pada hari Rabu itu. Kali itu adalah kali terakhir aku bisa belajar dengan benar. Setelah itu, aku berusaha mengulang materi yang sudah kupelajari sebelumnya, namun rasanya sangat enggan. Aku paksakan untuk belajar, untuk baca lagi. Tapi akhirnya? Aku hanya skimming sampai hari Jumat. Hasil kuisku jauh dari kata memuaskan (untukku, ya, karena standarku untuk nilai... cukup tinggi).

Sungguh, rasanya muak banget membaca materi. Aku masih berusaha untuk belajar terus sampai detik ini, belajar psikologi perkembangan, atau proses belajar manusia, karena aku akan kuis di hari Selasa (psikologi perkembangannya hari Senin, kemungkinan akan ada kuis dadakan karena dosennya memang suka memberi kuis dadakan, maka itu aku sebenarnya harus belajar, setidaknya membaca sedikit dan mengerti secara garis besar lah). Apa yang terjadi? Dua hari belakangan ini terbuang sia-sia karena aku tidak bisa belajar! Materi yang sudah kubaca rasanya hilang dan aku tidak mendapatkan apa-apa.

Aku ingat hari Jumat kemarin, aku sampai stres banget karena nggak bisa belajar ini. Aku juga merasa down karena nilai kuis psikologi sosialku. Jadilah hari Jumat itu sejak pulang kuliah, aku nangis-nangis kayak orang gila sampai wajahku bengkak semua. Karena otakku ini masih otak yang sama (seharusnya), aku terus berpikir negatif, sampai membawa-bawa pikiran yang sebenarnya sudah cukup lama tidak muncul lagi. Aku ingat betul di depanku ada cutter, tapi cutter itu sudah karatan, jadi aku tidak berani memakainya.

It has been a rough week for me. 

Sampai sekarang, aku masih berusaha menemukan apa yang membuatku bisa seperti ini. Bahkan sekarang pun, aku enggan sekali memegang buku psikologi perkembangan yang seharusnya kubaca. Aku sudah berusaha belajar sejak bangun tidur! Kalimat per kalimat, paragraf per paragraf, halaman per halaman. Tapi tanyakan saja, apa yang kudapat selama membaca itu? Tidak ada. Membaca tulisan-tulisan berbahasa Inggris itu membuatku muak.

Aku sudah melakukan berbagai cara untuk bisa belajar lagi, seperti refreshing dulu, karena kata orangtuaku, aku terlalu banyak belajar (well, sebenarnya tidak juga, karena ini baru minggu ketiga perkuliahan. Yah, meskipun aku memang selama tiga minggu ini selalu membaca buku sih... buku kuliah, bukan novel). Aku sudah nonton di bioskop, sudah menulis, sudah bernyanyi, sudah jalan-jalan di mall, sudah makan makanan yang bermanfaat sekali untuk otak... Tapi tetap saja seperti ini T.T

Sekarang aku mulai merasa frustasi. Sudah tiga hari belakangan setiap kali aku memegang buku dan sulit berkonsentrasi, aku mau melempar buku itu dengan kasar dan sekencang-kencangnya ke tembok karena rasa frustasiku itu. Aku sudah pernah melakukan itu sebelumnya saat SMA. Waktu itu pelajaran matematika yang materinya trigonometeri (materi tersulit yang pernah ada) dan aku had no idea at all bagaimana cara menyelesaikan soal yang aneh banget itu! Alhasil, aku frustasi sendiri. Sudah bertanya pada teman-temanku, juga mereka sudah mengajari aku, tapi aku tetap tidak bisa mengerti dan tidak bisa paham (sampai sekarang aku masih belum bisa loh!). Jadilah aku mengamuk, sampai buku matematikaku robek. Untuk sekarang ini, aku tidak berani melempar bukuku karena aku nggak tega merusaknya karena mereka ini mahal dan aku masih menganggap mereka "babies"-ku.

Orangtuaku bagaimana reaksinya melihatku begitu? Mereka marah. Sepertinya rasa frustasi itu mudah menular, ya? Mungkin mereka ikut merasa frustasi karena melihatku seperti itu dan tidak tahu harus apa. Kemarin Jumat, reaksi mereka juga sama. Aku makin menjadi-jadi saat dimarahi, seperti orang histeris. Aku sudah membayangkan hal-hal yang akan kulakukan dengan cutterku, tapi hanya terjadi di bayanganku saja karena tidak ada kesempatan untuk merealisasikannya.

Kesimpulan dari postingan ini apa? Well, aku cuma mau mengingatkan aja buat siapapun yang membaca ini, baik kalian ini masih pelajar atau sudah mahasiswa atau sudah tamat, coba untuk tidak terlalu memaksakan diri untuk belajar karena semua orang punya batasannya masing-masing. Saat limit itu sudah terlampaui, otak bisa konslet seperti yang kualami sendiri sekarang ini. Jalan keluar dari kekonseltan ini pun masih belum jelas untukku. Mungkin kalian yang pernah mengalami bisa menemukan jalan keluar masing-masing, atau hanya dibiarkan saja lalu akhirnya kembali normal sendiri. Tapi untuk kalian yang belum pernah mengalami, tolong jangan terlalu memaksakan diri sepertiku. Kalau kalian memang sudah jenuh dan lelah, istirahatlah dulu, lakukan hal-hal yang membuat kalian senang. Bicaralah pada orang-orang yang kalian percayai, rileks dulu. Aku sadar betul ini kata-kata yang sebenarnya bullshit karena aku punya banyak alasan untuk men-counter kata-kata itu (misalnya: tapi waktunya mepet, ini dikejar deadline, hari X kuis Y, hari Z kuis A, dll). Ini sebuah tindakan preventif sebelum hal itu terjadi. Barang 20-30 menit pun seharusnya oke. Tapi kalau sampai masuk ke kondisi seperti yang kuceritakan tadi, akibatnya akan kalian tanggung sendiri. Percaya padaku, rasanya benar-benar tidak enak. Jadi, lebih baik kalian cegah daripada harus keluar dari situasi seperti ini.

Best of the year

Experience: Sedikit Pengalaman dengan Bulimia

Berkaitan dengan post saya kemarin, maka saya berpikir untuk berbagi pengalaman tentang bulimia nervosa yang saya derita. Berat badan saya pernah mencapai angka 56 kg, dengan tinggi badan <155 cm. Tentu saja bukan berat badan yang ideal, karena idealnya adalah 45 kg menurut saya. Di bulan Desember 2013, saya menghadapi suatu masalah yang membuat saya stres dan tidak nafsu makan. Di tambah lagi, saya sempat sakit selama beberapa hari sehingga sama sekali tidak bernafsu makan, sekali pun di hadapan saya sudah tersedia makanan kesukaan sepanjang masa, yaitu nasi goreng. Dari masalah itu, saya berniat untuk membuat orang itu menyesal. Ibarat kata, saya ingin balas dendam padanya dengan menunjukkan bahwa saya bisa kurus dan menjadi cantik, sehingga ia saya boleh merasa bangga pada diri sendiri sekaligus 'membalas dendam'. Di mulailah diet saya. Tekad saya ketika itu sudah bulat dari dalam hati, tidak diumbar ke mana-mana. Tidak ada seorang pun yang tahu bahwa saya se

Lessons Learned from the Movie "Suddenly Seventeen"

Hi! My mid-term test has finished yesterday (yaaayy!!) and yesterday, I had a time to spend with my girls and had a time to spend with myself. What I did was giving myself a good movie to learn from. I know that movie accidentally while browsing through youtube several weeks ago but had just had a time yesterday. And that movie was VERY GOOD oh my God. This post ain't gonna be a movie review. I wanna share the lessons I learned from this movie. The movie is called "Suddenly Seventeen". It is a remake from a western movie titled "17 again." 1/3: Never lose yourself for a man. Yes, yes! This is the first lesson I learned from this movie ever since the beginning. The main female character, Liang, has been in a relationship with his boyfriend, Mao, for 10 years. She's currently 28 and Mao hasn't proposed to her yet. She was desperate. Then a magic chocolate turns her mind to her 17 self. She was very different back then in her 17. She was so lively, so

Self: Introversion in Me

Kalau ditanya, sebenarnya kamu itu orang yang kayak gimana, kamu bakal jawab apa? Well, gue jujur nggak pernah ditanya, sih, tapi sedikit banyak gue tahu gue itu orang yang kayak apa. Gue sudah pernah tes minat-bakat sekaligus tes kepribadian, online, offline, free maupun berbayar. Semua hasilnya menunjukkan kalau gue memang seorang introvert. Tipe kepribadian gue menurut Myers-Birggs Type Indicator (MBTI) adalah INFP/INFJ yang artinya Introvert, iNtuituve, Feeling dan Perceiving/Judging. Kenapa gue tulis dengan garis miring di situ? Karena hasil tes gue menunjukkan kecenderungan gue sebagai INFP dan INFJ. Hasilnya hampir seimbang. Hasil tes gue menunjukkan kalau gue adalah INFJ, tapi menurut semua ciri-ciri INFP dan INFJ yang sudah gue bandingkan dengan diri sendiri, gue lebih ke INFP daripada INFJ.  Introvert. Buat kalian yang belum tahu, introvert itu adalah orang yang lebih menyukai berada dalam pikiran atau dunianya sendiri. Introvert ini memiliki pikiran dan dunia ya

KENALI PIKUN, BUKAN MEWAJARI

Budi (nama samaran), 38 tahun "Ayah saya saat ini telah berusia 60 tahun. Dulu ayah merupakan sosok yang ceria dan juga sangat gigih dalam pekerjaannya. Akan tetapi, semuanya berubah semenjak 3 tahun terakhir ini. Tiga tahun yang lalu, ayah saya pensiun. Sejak saat itu, ayah lebih banyak diam di rumah dan semakin lama, kemampuan mengingat ayah juga semakin berkurang. Suatu saat ayah bertanya, “Kamu ingin pergi ke mana?”, meskipun saya telah menjawab pertanyaan tersebut, ayah kembali mengulang pertanyaan yang sama berkali-kali. Ketika saya menceritakan hal ini kepada orang-orang, mereka umumnya menjawab..  'Biasa.. udah tua gitu, jadi lupa terus.' 'Makin tua wajar sih makin pikun.' 'Orang tua lupa mah wajar, memang penyakit tua.' Ayah juga mengalami kesulitan untuk melakukan aktivitas sehari-hari, bahkan membuat kopi kesukaannya pun tidak dapat dilakukannya. Kepribadian ayah juga mulai berubah, sekarang ayah lebih sering marah-marah tanpa sebab

Belajar dari Pengalaman Orang Lain (part 1)

Halo! Hari ini, aku menemukan dua hal yang mengubah padanganku terhadap bagaimana aku 'merasa' dan bersikap karenanya. Pengalaman ini mungkin sederhana, tapi aku entah kenapa bisa juga memaknainya dengan cukup serius dan menjadi sebuah filosofi tersendiri (Hahaha!).  1. Seorang youtubers membagikan ceritanya mengenai hamil di luar nikah saat usianya 17 tahun. Aku sebenarnya iseng saja waktu menonton video ini di sela-sela mengerjakan tugas. Aku tertarik dengan judulnya: "17 and Pregnant". Aku sudah pernah menonton video-video lain tentang ini sebenarnya, tapi entah kenapa, video ini yang berhasil membuatku tersentuh. Aku terinspirasi sekali olehnya, bagaimana dia akhirnya bisa  survive  dengan hidupnya yang seperti itu. Menurutku, kisahnya ini sangat realistis dan nyata dalam kehidupan jaman sekarang ini. Banyak pelajaran yang dapat kuambil dari satu video berdurasi 15 menit 21 detik ini. Namanya Nami Cho. Cho ini hamil di usia 17 tahun. Cho ini meras

Rant: Penderita Gangguan Mental BUKAN untuk Ditakuti

Post ini ditulis karena saya teringat seorang teman pernah mengatakan kepada saya bahwa dia takut dengan orang yang mengalami gangguan mental. Remaja memang labil dan emosinya berubah dengan cepat. Hal itu wajar karena perkembangan otak remaja belum sempurna, sehingga otak belum dapat memerintahkan organ untuk memproduksi hormon-hormon tertentu secara seimbang. Dari kasus tersebut tentu saja pasti ada salah satu hormon yang dominan. Fungsi hormon tersebut juga akan lebih domian pada remaja, namun jenis dan kadarnya akan berbeda pada setiap remaja.  Di usia remaja, manusia sangat rentan menderita gangguan mental. Gangguan mental masa kini memiliki beragam jenis. Beberapa yang paling sering disorot dan penderitanya sebagian besar adalah remaja yaitu eating disorder (anorexia dan bullimia), Attention Deficit-Hyperactivity Disorder (ADHD) dan bipolar disorder. Saya sendiri adalah mantan bulimia. Banyak faktor yang dapat menyebabkan gangguan tersebut muncul. Menurut saya, faktor

Me Talking about My ((Current)) Condition

Lately I'm not sure what I'm feeling. It feels like riding a roller-coaster everyday. I don't know what should I feel, I don't know how I should react. I just... don't know. I feel like I'm losing track of my life. I'm getting out of track. Well, let's see through my past then. I was an introverted girl and so am I now. I've never been comfortable with myself enough to depend on myself rather than depending on somebody who has a close relationship with me like my best friend. That sucks, I know, not being able to depend on yourself and to you just depend on others for your moral support. I should have been the best friend I need myself. It feels like time has passed so much since I wrote my last reflection. I had been doing great actually, but not for this past 2-3 weeks. I can't recall exactly what makes me being like this. The thoughts just coming so sudden and filling my head, even they sometimes make me grasping for air so much that

Curhat: Aku

Sebenarnya, aku hari ini pengen nulis tentang beberapa hal. Tetap curhatan, seperti biasa. Dan kupikir, aku akan memaksimalkan fungsi blog ini sebagai tempat curhatku, tempat untukku menuangkan semua pikiran-pikiranku, terutama yang negatif. Toh nanti, aku sendiri ini yang akan membaca tulisanku. Topik yang ingin kubahas hari ini mengenai seseorang yang belakangan ini sedang dekat denganku, aku yang semakin terlihat ke-introvert-annya, aku yang butuh muse untuk kembali menulis, dan aku yang sedang galau karena ke-introvert-anku itu. Mari kita bahas satu per satu. Ini sebagai salah satu cara untuk keluar dari pikiran negatif yang sering menghantuiku.  Aku saat ini sedang suntuk di rumah, ingin istirahat, dan memaksakan diri untuk refreshing. Aku tidak tahu sebenarnya apa yang bisa membuatku segar kembali, yang membuatku lebih bahagia lagi, dan membuatku merasa keluar sejenak dari penat yang sempat menggangguku beberapa minggu ini. Aku tidak tahu. Hobi? Hobiku (dulu) menulis

Curhat: Running Thoughts

Aku baru pulang dari liburan keluarga bersama ke Jogjakarta selama beberapa hari. Aku dan keluarga besarku touring ke Jogja. Well, aku nggak akan ceritain gimana perjalananku selama di sana karena di post ini, aku benar-benar mau mengeluarkan semua yang membuat liburanku kemarin nggak bisa kuberi nilai 10/10. Kembali lagi pada masalah dari dalam diriku sendiri.  Supaya nggak bingung, sejak kecil, aku dan keluarga besarku dari pihak Papa sering touring ke kota-kota di Pulau Jawa dan Sumatera. Kami bahkan sudah sampai ke Bali dengan jalan darat. Convoy sekitar 6 mobil. Sudah beberapa tahun terakhir kami jarang pergi lagi, dan baru tahun ini lagi, kami berkesempatan untuk refreshing bersama-sama.  Tidak perlu ahli untuk tahu kalau aku sebenarnya senang sekali pergi touring bersama keluarga besarku meskipun aku pernah bermasalah dengan beberapa anggota keluarga itu pada masa labilku (masa SMP yang kelam). Usiaku waktu pertama kali touring itu adalah 7 tahun, jadi aku memang su